Pada Januari 2025, Indonesia mencatatkan deflasi (penurunan harga barang dan jasa) sebesar 0,76% secara bulanan (month to month/mtm). Namun, meski ini menjadi deflasi yang signifikan, pemerintah menilai kondisi ini normal dan tidak perlu dikhawatirkan.
Tanda-tanda Deflasi yang Wajar
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa deflasi Indonesia pada Januari 2025 mencapai 0,76%, sama dengan tingkat deflasi year to date (ytd). Perkembangan ini berbeda dari proyeksi banyak ekonom, di mana mayoritas memperkirakan akan terjadi inflasi. Namun, berbeda dengan itu, Ahmad Mikail, ekonom dari Sucor Sekuritas, memprediksi deflasi sebesar 0,15% mtm dan inflasi tahunan yang lebih rendah dari rata-rata yakni hanya 1,25%.
Faktor Penyebab Deflasi Januari 2025
Deflasi ini tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor umum, tetapi juga oleh sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Salah satunya adalah penurunan harga barang yang berada di bawah kontrol pemerintah, seperti tarif listrik, angkutan udara, dan transportasi kereta api. Komponen harga yang diatur pemerintah, yang memiliki andil besar dalam Indeks Harga Konsumen (IHK), tercatat mengalami deflasi 7,38% mtm pada Januari 2025.
Penurunan tarif listrik yang besar, sejalan dengan kebijakan diskon 50% untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 450 VA hingga 2200 VA, turut memberikan kontribusi besar pada deflasi ini. Seperti diketahui, listrik memiliki bobot terbesar dalam IHK Indonesia, lebih besar daripada harga bensin dan beras. Penurunan harga listrik tercatat mengalami deflasi sebesar 32,03% dalam sebulan, dengan andil deflasi sebesar 1,47%.
Deflasi Bukan Pertanda Kemerosotan Ekonomi
Meski deflasi sering dianggap sebagai tanda kurangnya daya beli masyarakat atau menurunnya aktivitas ekonomi, situasi Indonesia kali ini sangat berbeda. Meskipun terjadi deflasi, indikator makroekonomi Indonesia justru menunjukkan tanda-tanda positif.
Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Indonesia, misalnya, tercatat meningkat menjadi 127,7 pada Desember 2024, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang hanya 125,9. Peningkatan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK), yang mencerminkan optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi di masa depan, juga terlihat signifikan. IEK Indonesia pada Desember 2024 bahkan mencapai level tertinggi sejak Juni 2022, yaitu 139,5.
Selain itu, sektor manufaktur Indonesia menunjukkan peningkatan yang solid. Indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufacturing yang dirilis oleh S&P Global pada Januari 2025 menunjukkan angka 51,9, yang merupakan angka tertinggi sejak Mei 2024. Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global, menyatakan bahwa sektor manufaktur Indonesia terus berkembang pesat, didorong oleh peningkatan produksi dan optimisme terhadap masa depan.
Stimulus Ekonomi dan Optimisme Konsumen
Pemerintah juga telah meluncurkan berbagai stimulus ekonomi yang dirancang untuk mendongkrak daya beli masyarakat, terutama menjelang libur Natal dan Tahun Baru 2024/2025. Salah satunya adalah kebijakan diskon tiket pesawat untuk mendukung sektor pariwisata nasional. Stimulus ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia, mengingat pariwisata berkontribusi besar terhadap sektor transportasi dan konsumsi.
Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengungkapkan bahwa kebijakan diskon tiket pesawat ini akan diterapkan lagi saat Lebaran 2025 mendatang, bersama dengan rencana untuk mengurangi tarif tol. Semua kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif pada perekonomian Indonesia yang lebih luas.
Kesimpulan: Optimisme di Tengah Deflasi
Meski deflasi yang tercatat pada Januari 2025 cukup signifikan, situasi ekonomi Indonesia justru menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Optimisme konsumen, perbaikan sektor manufaktur, serta kebijakan stimulus pemerintah menjadi faktor penting yang membantu menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Dengan semua faktor ini, deflasi kali ini dipandang sebagai kondisi yang wajar dan bukan pertanda buruk bagi perekonomian Indonesia.